Tentara Nasional Indonesia mengerahkan
tujuh kapal perang dan pesawat udara patroli maritim ke perairan Natuna
di Kepulauan Riau pada akhir Oktober 2015. Armada kapal perang Republik
Indonesia (KRI) itu disiagakan berbarengan dengan ketegangan yang
meningkat di Laut Tiongkok Selatan akibat sengketa teritorial di
perairan itu.
Situasi memanas setelah Amerika Serikat mengerahkan kapal perang
mereka ke kawasan sengketa teritorial kepulauan Spratly di Laut Tiongkok
Selatan pada akhir Oktober. Pulau-pulau di Laut China Selatan itu
disengketakan empat negara, yaitu Tiongkok, Vietnam, Filipina, Brunei
Darussalam, dan Malaysia.
Amerika sesungguhnya tak ada urusan. Begitu pun Indonesia, yang
tidak punya klaim wilayah di Laut China Selatan. Seharusnya pula
Indonesia tidak perlu ikut-ikutan terseret dalam konflik wilayah itu.
Kendati demikian, tidak ada klaim bukan berarti Indonesia boleh
lengah. Bagaimanapun negara-negara yang bersengketa itu adalah
tetangga-tetangga Indonesia.
Wilayah sengketa itu pun tidak jauh dari perbatasan maritim kita
dan juga sangat strategis bagi jalur pelayaran internasional. Maka apa
pun gejolak yang terjadi di Laut China Selatan, apalagi sampai konflik
bersenjata, juga akan berpengaruh buruk bagi keamanan dan kepentingan
ekonomi Indonesia.
Seharusnya pula, sesuai dengan amanat Pembukaan Undang-undang Dasar
1945, Indonesia turut berkepentingan dalam menyelesaikan konflik di
Laut China Selatan secara diplomasi demi menjaga perdamaian dunia. TNI
patut mengirim armada kapal perang ke wilayah perbatasan demi menjaga
pertahanan nasional, namun jangan sampai ikut-ikutan dalam konflik
terbuka antar-negara sahabat di kawasan itu.
Empat di antara KRI yang dikerahkan itu ditempatkan di Pangkalan
Penjaga Laut dan Pantai Tanjung Uban serta tiga yang lain dioperasikan
di perairan Natuna. Indonesia sebenarnya tak terlibat dalam sengketa
itu. Tetapi perairan Natuna ialah kawasan yang berada di beranda utara
wilayah Tanah Air atau sisi paling selatan Laut Tiongkok Selatan.
Hanya patroli
Indonesia sudah sejak lama mewaspadai potensi gangguan keamanan di
Laut Tiongkok Selatan yang bisa saja merembet ke Tanah Air. Tetapi
pemerintah selalu menepis dikait-kaitkan dengan sengketa kawasan itu
setiap ada mobilisasi armada militer, seperti pengerahan tujuh KRI.
Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, mengungkapkan bahwa
pengerahan kapal militer itu hanya untuk patroli rutin demi menjaga atau
mengawasi perairan Indonesia. Andai patroli itu memergoki kapal militer
negara lain di perairan Natuna, TNI tak akan bertindak agresif, misal,
menembaki atau mencegatnya.
Misi utama tujuh KRI dan pesawat udara patroli maritim itu, kata
Menteri, murni demi mengawasi perairan Indonesia. “Kalau ada kapal
perang (negara lain), kita bukan menembak, tapi siap dadah-dadah
(melambaikan tangan tanda) perdamaian," katanya di Jakarta pada Jumat,
13 November 2015.
Tiongkok, menurut Menteri, pun sebenarnya tidak ingin membuat
provokasi yang dapat memicu ketegangan di kawasan itu. Pemerintah negeri
tirai bambu itu bahkan menyebut Laut Tiongkok Selatan sebagai “halaman
bersama” bagi negara-negara di Asia Tenggara. Indonesia diminta tak
mencemaskan situasi di Laut Tiongkok Selatan.
Beijing, kata Menteri Ryamizard, juga mengklarifikasi tentang
pangkalan militer Tiongkok yang dibangun di tepi barat kepulauan
Spratly. Pangkalan itu memang dibangun Tiongkok tetapi boleh dipakai
bersama-sama oleh negara lain, terutama negara-negara Asia Tenggara.
“Mereka mempersilakan negara lain untuk menggunakannya. Itu untuk
persinggahan. Mereka yang bilang begitu. Tadinya mereka, kan, tidak
pernah ngomong," ujar Ryamizard, menjelaskan sikap Beijing.
Pemerintah Indonesia, kata Ryamizard, menilai klarifikasi Tiongkok
ada benarnya. Soalnya ribuan kapal niaga melintasi Laut Tiongkok Selatan
tetapi militer Tiongkok tak pernah melancarkan agresi terhadap
kapal-kapal itu. Hal serupa mereka lakukan terhadap kapal militer negara
lain.
Ryamizard, yang adalah mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat,
mengapresiasi sikap Tiongkok yang beritikad baik untuk tidak memicu
ketegangan di Laut Tiongkok Selatan, sebagaimana dinyatakan Beijing. Dia
mengibaratkan Tiongkok satu kata dan perbuatan.
Indonesia pun, katanya, harus menghormati dengan tulus sikap pemerintah negeri komunis itu. “Kita ngomong jangan di mulut doang (saja). Hati juga harus ikhlas. Mungkin Cina melihat itu.”
Indonesia tak terpengaruh
Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo, mengatakan secara lugas
bahwa tak ada alasan merecoki sengketa Laut Tiongkok Selatan. Mobilisasi
kapal perang TNI pun bukan untuk itu tetapi murni patroli pengamanan
wilayah perairan.
Lagi pula, kata Panglima, pihak yang bersengketa sekarang
sebenarnya bukan Tiongkok, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan
Malaysia, melainkan Tiongkok dengan Amerika Serikat.
Sumber masalahnya memang peristiwa pada akhir Oktober itu, yakni
kapal perang Amerika yang memasuki kawasan Spratly di Laut Tiongkok
Selatan. Kapal perusak milik Angkatan Laut Amerika, USS Lassen,
dilaporkan berlayar hingga hanya berjarak 12 mil laut ke pulau buatan
yang dibangun Tiongkok pada 2014, yang sekarang menjadi pangkalan
militer.
Tiongkok tentu berang dengan aksi militer Amerika itu. Ditambah
ulah Menteri Pertahanan Amerika, Ash Carter, yang mengunjungi kapal
induk USS Theodore Roosevelt, yang sedang beroperasi di Laut Tiongkok
Selatan. Menteri Carter bahkan menyatakan secara terbuka bahwa Amerika
menentang proyek reklamasi Tiongkok di kepulauan Spratly.
Carter juga mengingatkan Tiongkok bahwa Amerika tak akan
menghentikan operasi laut mereka di kawasan Laut Tiongkok Selatan.
Amerika menilai kawasan itu ialah perairan internasional -bukan milik
Tiongkok- sehingga negara mana pun dapat berlayar di sana.
Indonesia, kata Panglima, tak sedikit pun berniat mencampuri urusan
sengketa Laut Tiongkok Selatan. Indonesia sangat menghindari
aktivitas-aktivitas militer yang dapat memantik ketegangan atau bahkan
sekadar menimbulkan kecurigaan negara lain.
Panglima mencontohkan sikapnya yang menolak ajakan Tiongkok,
seperti diungkapkan Menteri Pertahanan Chang Wanquan, untuk menggelar
latihan bersama di Laut Tiongkok Selatan. Panglima berpendapat, semua
negara, termasuk Indonesia, wajib menahan diri untuk tidak melakukan
aktivitas militer di kawasan itu.
Pernyataan Panglima didukung Kepala Staf TNI Angkatan Laut,
Laksamana Ade Supandi. Pengerahan armada KRI adalah bagian dari operasi
patroli rutin saja. Patroli itu bukan operasi khusus. Media massa saja
yang mengaitkannya dengan ketegangan di Laut Tiongkok Selatan.
“Kegiatan patroli yang berkenaan dengan keadilan di laut, baik di
Laut Natuna, Sulawesi, maupun Samudera Hindia,” kata Laksamana Ade
Supandi di Markas Besar TNI Angkatan Laut di Jakarta pada 6 November
2015.
Berdampak ekonomi global
Kementerian Luar Negeri Indonesia mengingatkan betapa penting
perdamaian di kawasan Laut Tiongkok Selatan. Stabilitas kawasan itu tak
hanya demi kepentingan Indonesia atau negara-negara terkait, melainkan
juga untuk kepentingan dunia. Soalnya kawasan Laut Tiongkok Selatan
adalah jalur utama bagi perdagangan internasional.
“Hal itu akan memengaruhi ekonomi global. Perdamaian sangat
penting, karena apabila ada gejolak di sana, dampaknya akan memengaruhi
seluruh dunia. Sebagian besar jalur perdagangan lewat sana,” juru bicara
Kementerian Luar Negeri RI, Arrmanatha Nassir, di Jakarta pada Kamis,
12 November 2015.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut
Binsar Panjaitan, sedari dini sudah mewanti-wanti TNI maupun Polri agar
menghindari kegiatan-kegiatan yang berpotensi memantik ketegangan di
Laut Tiongkok Selatan. TNI, sebagaimana sikap resmi pemerintah
Indonesia, tidak berpihak pada pihak mana pun yang bersengketa di
kawasan itu.
Luhut berpendapat, Indonesia boleh terlibat dalam sengketa Laut
Tiongkok Selatan tetapi dalam konteks mengutamakan dialog agar tidak
terjadi kontak militer. “Dialog solusi yang bagus, kedepankan
langkah-langkah yang elok," ujarnya.
TNI sesungguhnya sudah bersiaga sejak lama mengantisipasi konflik
perebutan kawasan itu. Sejak 1996, ribuan personel TNI disiagakan di
Natuna maupun di Kepuluan Anambas, yang lokasinya tidak jauh dari daerah
kaya minyak itu.
Indonesia belum bersengketa langsung dengan Tiongkok. Sebelum isu
peta Tiongkok dengan sembilan garis titik-titik menyinggung Natuna pada
2009, Vietnam dan Filipina sering perang urat saraf dengan Tiongkok.
TNI mencurigai Tiongkok sengaja memasukkan bagian dari Kepulauan Natuna dalam nine-dash line, batas tidak jelas yang digunakan pada peta Tiongkok untuk mengklaim sekira 90 persen dari laut di daerah itu.
Pemerintah Indonesia, menurut Armanatha, telah meminta penjelasan
kepada Tiongkok. Indonesia menganggap nine-dash line yang dibuat
Tiongkok tak pernah dikenali dan tak sesuai hukum internasional. Namun
permintaan penjelasan itu belum dijawab Beijing.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Hong Lei, mengatakan
bahwa negaranya tidak mempersengketakan kedaulatan Indonesia atas
Natuna, tapi ada "beberapa sengketa maritim." Tiongkok, katanya, terus
mengupayakan upaya dialog atau negosiasi dengan Indonesia serta
menghormati hukum internasional. Sumber
Komentar
Posting Komentar