Pages

Langsung ke konten utama

Lebih Dari 70 Persen Senjata Suriah Diimpor dari Rusia

Suriah dilaporkan mengimpor enam kali lebih banyak senjata dalam kurun waktu 2007-2011 dibandingkan lima tahun sebelumnya, sebuah lembaga riset internasional melaporkan Senin (19/3/2012).

Perdagangan global senjata yang dilaporkan oleh Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) itu menggarisbawahi bahwa Rusia terus memasok Suriah dengan senjata, di tengah embargo senjata oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, dan sejumlah negara lain terhadap Suriah. Moskwa tercatat mengirim 72 persen pasokan senjata rezim Presiden Bashar al-Assad.

Pengiriman terbesar dari Rusia ke Suriah sepanjang 2007-2011 termasuk sistem pertahanan udara dan rudal antikapal, yang tidak digunakan secara langsung dalam situasi saat ini. Namun pasokan senjata itu meningkatkan kemampuan Suriah untuk mempertahankan diri dari intervensi asing, papar Pieter Wezemen, peneliti SIPRI.

"Senjata-senjata itu meningkatkan risiko dan ambang batas intervensi militer asing seperti operasi NATO terhadap rezim (Moammar) Khadafy di Libya," kata Wezemen.

Dari Rusia, Suriah telah memesan 25 pesawat tempur MIG-29. Dan pada akhir 2011, Rusia menandatangani kesepakatan senilai 550 juta dollar AS untuk pembelian 36 pesawat tempur Yak-130, jelas Wezeman, meskipun soal waktu pengiriman dan kemampuan Suriah membayar masih menjadi pertanyaan.

"Bagaimanapun juga, pengiriman pesawat tempur itu akan meningkatkan kemampuan militer Suriah untuk memerangi posisi-posisi pasukan pemberotnak jika konflik Suriah berkembang seperti di Libya, misalnya," papar Wezeman dalam email kepada Associated Press (AP).

PBB memperkirakan tindakan keras militer Suriah terhadap para pemberontak yang dimulai setahun lalu itu telah menewaskan lebih dari 8.000 orang.

Impor senjata Suriah meningkat hingga 580 persen selama periode 2002-2006. Ini menaikkan negara itu ke posisi 33 dari posisi 68 dalam peringkat negara pengimpor senjata, kata SIPRI. Laporan SIPRI juga menyebut, 19 persen senjata Suriah diimpor dari Belarus dan 9 persen sisanya dari Iran.

Menurut SIPRI, perdagangan senjata konvensional secara global naik 24 persen selama 2007-2011. AS masih menduduki peringkat 1 pengekspor senjata, disusul Rusia, Jerman, Perancis, dan Inggris.

Sementara itu India, Korea Selatan, Pakistan, China, dan Singapura merupakan lima negara pengimpor senjata terbesar.

Arab Spring ternyata memiliki dampak kecil dari perdagangan global senjata pada 2011, bahkan meskipun peristiwa itu "memicu debat publik dan parlemen di sejumlah negara pemasok senjata," kata SIPRI. Lembaga ini juga mencatat pesanan 154 pesawat tempur F-15 dari Arab Saudi ke Amerika Serikat merupakan perjanjian pembelian senjata terbesar dalam dua dekade terakhir.

SIPRI telah mengembangkan indikator nilai perdagangan senjata. Datanya memasukkan senjata konvensional utama seperti pesawat, kendaraan lapis baja, artileri, sensor, rudal, kapal, dan sistem pertahanan udara. Truk, senjata kecil, amunisi, dan senjata ringan lainnya tidak dimasukkan. Kompas

Komentar